Ketika Hakim Menerima Suap

Sesuai dengan Pasal 19 Undang-Undang RI Nomor : 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman maka Hakim adalah pejabat Negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang.

Tugas Pokok Hakim adalah: 1) Meneima berkas perkara, 2) Memeriksa perkara yang diajukan kepadanya, 3) Memutus perkara yang diajukan kepadanya. Dimana semua hal tersebut merupakan rangkaian dari menerima dan mengadili (baca : memeriksa dan memutus sesuai dengan KUHAP) suatu perkara yang diajukan kepadanya.

Dengan kata lain, tugas utama hakim adalah menyelesaikan sengketa di-antara pihak-pihak, memberi kepuasan hukum kepada pihak yang berperkara. Sedangkan hal-hal yang bersifat sosial hanyalah akibat dari putusan hakim terhadap pihak yang bersangkutan. Hakim dituntut tidak boleh legalistik, tidak boleh sekedar sebagai mulut undang-undang, tidak boleh hanya “legal justice” tetapi harus “social justice”, dan lain-lain.
Hakim dituntut menemukan hukum, bahkan bila perlu menciptakan hukum untuk memenuhi kebutuhan atau rasa keadilan masyarakat. Menghadapi keadaan hukum substantif yang bermasalah tersebut. Meskipun dikatakan hakim bertugas membentuk hukum, hakim wajib menjamin hukum tetap aktual.

Lantas bagaimana ketika hakim menerima suap seperti yang dilakukan Hakim Setyabudi Tejocahyono. Ia diduga menerima suap berkaitan dengan kepengurusan perkara korupsi dana bantuan sosial Pemerintah Kota Bandung. Setyabudi tertangkap tangan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi bersama seorang pihak swasta bernama Asep, Jumat (22/3/2013). Hakim Setyabudi Setyabudi dijerat dengan Pasal 12 huruf a atau b atau c, atau Pasal 5 ayat 2, atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Ketika hakim menerima suap tentu akan berdampak terhadap putusan sidang yang ia pimpin. Ketika masyarakat mengharapkan keadilan hukum, ia malah sengaja mempermainkan hukum untuk kepentingan sendiri seolah hukum bisa diperjual-belikan. Hukum tidak lagi berpihak pada kebenaran, hukum hanyalah bidang dan lahan usaha orang-orang tertentu, hukum hanya berpihak kepada orang yang berkantung tebal.

Di tengah penderitaan dan kemiskinan ribuan bahkan jutaan orang di Indonesia, seorang hakim justru tega membebaskan dan memberi jalan para koruptor yang nota bene adalah penyebab penderitaan dan kemiskinan bangsa. Koruptor lebih kejam dari "penjajah", koruptor lebih sadis dari "pembunuh". Seorang teroris mungkin dapat membunuh beberapa orang yang ia anggap musuh, tidak jarang seorang teroris yang melakukan aksi bom bunuh diri sekedar melakukan tugas yang ia anggap sebagai perjuangan dan jihad. Tetapi seorang koruptor mampu "membunuh" ribuan bahkan jutaan orang sekaligus. Sekali korupsi dua tiga propinsi mereka "bunuh".

Ketika hakim menerima suap dari seorang koruptor yang yang sedang ia diadili di suatu persidangan, sadar ataupun tidak, sama saja dengan membiarkan mereka untuk menghabisi seluruh bangsa Indonesia. Sekuat apapun hukum dan undang-undang, putusan hukum akan berat sebelah dan cenderung membela penyuap. Seorang koruptor lebih berbahaya dari 100 teroris, tetapi seorang hakim yang menerima suap, lebih berbahaya dari 1000 koruptor. Tindakan hakim seperti ini dapat menjadi "pupuk penyubur" para pelanggar hukum di Indonesia khususnya bagi mereka yang berduit.

Ketika hakim masih mudah menerima suap, ketika koruptor kebal hukum, dan ketika hakim bekerja sama dengan koruptor, bagaimana nasib bangsa Indonesia tercinta ini?

Comments

Popular posts from this blog

Menghitung Arus, Tegangan, Daya, dan Resistansi Pada Rangkaian Seri

Menghitung Arus, Tegangan, Daya, dan Resistansi pada Rangkaian Paralel

Kode dan Notasi Komponen Elektronika dan Listrik