Gelar, Usia, dan Status
Masih banyak masyarakat yang berpikir bahwa untuk mendapatkan pekerjaan harus berpendidikan formal. Semakin tinggi ijazah yang diperoleh semakin mudah mendapatkan pekerjaan. Semakin tinggi gelar seseorang makan akan semakin gampang mengisi lowongan pekerjaan. Pola pikir seperti itu sama sekali tidak salah apalagi jika mereka masih berusia muda, belum menikah ditambah dengan secarik kertas pengalaman kerja di bidangnya.Wah itu baru sempurna, dengan gelar, usia, dan status, perusahaan mana yang tidak membutuhkannya
Bagi mereka yang "berkantung tebal", semua hal di atas sama sekali tidak ada yang sulit. Hanya dengan menyisihkan sebagian deposito atau mengambil claim asuransi pendidikan, dengan mudahnya mereka dapat menyelesaikan pendidikan di jenjang tertentu. Bahkan katanya kini banyak sekolah-sekolah terkenal dan universitas-universitas terkemuka yang memberikan "jalur khusus" sebagai "bypass" untuk dapat masuk menjadi peserta didik di tempat itu. Sayangnya, jalurnya harus diberi sedikit "pelicin" agar proses pendaftaran lebih mulus dan berjalan lancar. Hal ini tentu hanya bisa dilakukan oleh kalangan tertentu yang tentunya harus "berduit".
Kenapa mereka berani berspekulasi seperti itu? Kenapa masih banyak yang bercita-cita ingin masuk ke sekolah dan perguruan tinggi ternama? Apakah lulusan perguran tinggi dapat menjamin mudahnya mendapat pekerjaan layak? Itulah Indonesia, pekerjaan akan mudah didapat dengan hal-hal seperti tadi. Dengan berbekal gelar diharapkan akan mendapat penghasilan yang setimpal untuk kesejahteraan nanti. Benarkah demikian?
Bukti di lapangan ternyata masih ada gelar "sah" yang diperoleh seseorang dalam waktu singkat tanpa harus mengikuti pelajaran sesuai kurikulum dan aturan pemerintah. Hanya dengan beberapa rupiah saja, mereka dengan mudah mendapatkan gelar S1. Semua mereka lakukan hanya untuk mempermudah mendapat pekerjaan atau untuk memperoleh jabatan tertentu di suatu perusahaan sehingga gajih pokok pun dapat naik.
Pantas saja banyak para pekerja di suatu instansi di Indonesia yang tidak profesional dan tidak mampu menangani hal-hal teknis di bidangnya sehingga dalam kasus tertentu mereka hanya menerima "gaji buta". Hal seperti ini tentunya jangan sampai terjadi karena langsung atau tidak akan merugikan perusahan tempat mereka bekerja dan lambat laun akan melemahkan negara.
Jika gelar dijadikan faktor krusial untuk mendapat pekerjaan di Indonesia tanpa melihat individual skill, maka tunggulah kehancuran Indonesia. Mereka yang benar-benar mampu dan profesinal di bidang tertentu tetapi tidak mempunyai gelar, maka akan tersisihkan oleh orang-orang "bodoh' yang bergelar tinggi meskipun kemampuan mereka "nol".
Kalau kita perhatikan, banyak perusahaan besar di Amerika dan di Eropa yang memprioritaskan skill ketimbang gelar. Gelar memang menjadi syarat tetapi tidak mutlak, bahkan kemungkinan besar mereka tidak akan diterima sebagai karyawan jika tidak dibarengi individual skill yang dibutuhkan perusahaan. Manajemen perusahan bahkan tidak membedakan gender dan usia selama mereka mampu mengisi pekerjaan yang dibutuhkan. Contoh, suatu perusahaan telekomunikasi dibidang jasa pemasangan tower telekomunikasi dan perangkat-perangkat pendukungnya sedang membutuhkan karyawan baru. Seseorang di usia 50-an masih berkesempatan untuk dapat bekerja di perusahaan tersebut selama mampu menyelesaikan pekerjaan dengan baik salah satunya mampu memasang antena di ketinggian 72 meter. Selain itu perempuan pun berkesempatan sama selamam mampu memenuhi kebutuhan pekerjaan seperti tadi.
Bandingkan dengan negara kita, lulusan SD atau SMP tidak mungkin memperoleh pekerjaan sebagus S1, kalaupun bisa hanya segelintir orang dengan nasib baik atau melalui koneksi orang dalam sehingga income yang didapat pun jauh lebih rendah meskipun sebenarnya mereka mampu. Ironisnya, masih ada perusahan atau suatu instansi yang lebih tertarik merekrut pekerja dengan gelar tinggi, kalau bisa usianya masih muda dan belum menikah. Dalam kasus tertentu bahkan banyak lulusan SMK/SMA yang sudah berkeluarga dan berpengalaman justru tidak lolos tes masuk kerja di suatu perusahaan karena tidak memenuhi syarat yakni gelar, usia, dan status padahal belum dilakukan tes kemampuan terhadap mereka untuk bidang yang dibutuhkan. Kenapa demikian? Sepertinya di Indonesia, gelar, usia, dan status masih merupakan syarat utama yang diprioritaskan dalam perekrutan tenaga kerja.
Sahabat berpendapat lain?
Bagi mereka yang "berkantung tebal", semua hal di atas sama sekali tidak ada yang sulit. Hanya dengan menyisihkan sebagian deposito atau mengambil claim asuransi pendidikan, dengan mudahnya mereka dapat menyelesaikan pendidikan di jenjang tertentu. Bahkan katanya kini banyak sekolah-sekolah terkenal dan universitas-universitas terkemuka yang memberikan "jalur khusus" sebagai "bypass" untuk dapat masuk menjadi peserta didik di tempat itu. Sayangnya, jalurnya harus diberi sedikit "pelicin" agar proses pendaftaran lebih mulus dan berjalan lancar. Hal ini tentu hanya bisa dilakukan oleh kalangan tertentu yang tentunya harus "berduit".
Kenapa mereka berani berspekulasi seperti itu? Kenapa masih banyak yang bercita-cita ingin masuk ke sekolah dan perguruan tinggi ternama? Apakah lulusan perguran tinggi dapat menjamin mudahnya mendapat pekerjaan layak? Itulah Indonesia, pekerjaan akan mudah didapat dengan hal-hal seperti tadi. Dengan berbekal gelar diharapkan akan mendapat penghasilan yang setimpal untuk kesejahteraan nanti. Benarkah demikian?
Bukti di lapangan ternyata masih ada gelar "sah" yang diperoleh seseorang dalam waktu singkat tanpa harus mengikuti pelajaran sesuai kurikulum dan aturan pemerintah. Hanya dengan beberapa rupiah saja, mereka dengan mudah mendapatkan gelar S1. Semua mereka lakukan hanya untuk mempermudah mendapat pekerjaan atau untuk memperoleh jabatan tertentu di suatu perusahaan sehingga gajih pokok pun dapat naik.
Pantas saja banyak para pekerja di suatu instansi di Indonesia yang tidak profesional dan tidak mampu menangani hal-hal teknis di bidangnya sehingga dalam kasus tertentu mereka hanya menerima "gaji buta". Hal seperti ini tentunya jangan sampai terjadi karena langsung atau tidak akan merugikan perusahan tempat mereka bekerja dan lambat laun akan melemahkan negara.
Jika gelar dijadikan faktor krusial untuk mendapat pekerjaan di Indonesia tanpa melihat individual skill, maka tunggulah kehancuran Indonesia. Mereka yang benar-benar mampu dan profesinal di bidang tertentu tetapi tidak mempunyai gelar, maka akan tersisihkan oleh orang-orang "bodoh' yang bergelar tinggi meskipun kemampuan mereka "nol".
Kalau kita perhatikan, banyak perusahaan besar di Amerika dan di Eropa yang memprioritaskan skill ketimbang gelar. Gelar memang menjadi syarat tetapi tidak mutlak, bahkan kemungkinan besar mereka tidak akan diterima sebagai karyawan jika tidak dibarengi individual skill yang dibutuhkan perusahaan. Manajemen perusahan bahkan tidak membedakan gender dan usia selama mereka mampu mengisi pekerjaan yang dibutuhkan. Contoh, suatu perusahaan telekomunikasi dibidang jasa pemasangan tower telekomunikasi dan perangkat-perangkat pendukungnya sedang membutuhkan karyawan baru. Seseorang di usia 50-an masih berkesempatan untuk dapat bekerja di perusahaan tersebut selama mampu menyelesaikan pekerjaan dengan baik salah satunya mampu memasang antena di ketinggian 72 meter. Selain itu perempuan pun berkesempatan sama selamam mampu memenuhi kebutuhan pekerjaan seperti tadi.
Bandingkan dengan negara kita, lulusan SD atau SMP tidak mungkin memperoleh pekerjaan sebagus S1, kalaupun bisa hanya segelintir orang dengan nasib baik atau melalui koneksi orang dalam sehingga income yang didapat pun jauh lebih rendah meskipun sebenarnya mereka mampu. Ironisnya, masih ada perusahan atau suatu instansi yang lebih tertarik merekrut pekerja dengan gelar tinggi, kalau bisa usianya masih muda dan belum menikah. Dalam kasus tertentu bahkan banyak lulusan SMK/SMA yang sudah berkeluarga dan berpengalaman justru tidak lolos tes masuk kerja di suatu perusahaan karena tidak memenuhi syarat yakni gelar, usia, dan status padahal belum dilakukan tes kemampuan terhadap mereka untuk bidang yang dibutuhkan. Kenapa demikian? Sepertinya di Indonesia, gelar, usia, dan status masih merupakan syarat utama yang diprioritaskan dalam perekrutan tenaga kerja.
Sahabat berpendapat lain?
Comments
Post a Comment
Mohon maaf, komentar tanpa identitas, komentar spam, komentar yang memancing perselisihan, melanggar norma, dan komentar iklan akan dihapus.