Ikhtiar Mencintai Bahasa Ibu

Sebagai orang berdarah Sunda asli, lahir, hidup, dan besar di Bandung, saya tentu bangga mengunakan bahasa Sunda sebagai alat komunikasi dalam pergaulan sehari-hari, terutama di lingkungan keluarga dan masyarakat sekitar tempat saya berada.

Saya yakin, orang dari suku mana pun di Indonesia akan memiliki rasa bangga yang sama menjadi penutur-penutur bahasa ibu mereka masing-masing.

Keanekaragaman suku dan bahasa di tanah air kita tercinta, Nusantara, adalah sesuatu yang sudah sepatutnya kita banggakan, lestarikan, serta syukuri.

Di bawah semboyan "Bhineka Tunggal Ika", keunikan-keunikan budaya lokal masing-masing daerah tersebut pada gilirannya akan secara nyata dan demokratis ikut memberikan sumbangsih tak ternilai dalam mewarnai perjalanan hidup bangsa yang berasaskan Pancasila ini.

Konon, di era digital ini, planet bumi yang sedang kita tinggali sama halnya dengan sebuah desa global yang setiap penduduknya dapat dengan mudah berinteraksi dan saling menyambangi, meski secara virtual, dengan memanfaatkan berbagai kemajuan di bidang teknologi komunikasi.

Peribahasa berbunyi "Dunia tak selebar daun kelor" sangat tepat menggambarkan hal ini.

Secara geografis, ukuran bumi tidaklah berubah, tetapi interaksi-interkasi yang semakin luas dan masif antar penghuninya yang membuat bumi secara virtual "mengecil".

Contoh paling klise adalah dimungkinkannya sebuah kejadian di belahan dunia tertentu "disaksikan" secara langsung oleh penduduk belahan dunia lain yang sangat berjauhan melalui tayangan-tayangan live di televisi atau video streaming di internet.

Mengecilnya dunia ini tentu berdampak pada berbagai aspek kehidupan, entah itu sosial, ekonomi, maupun politik. Infiltrasi budaya asing pun menjadi jauh lebih mudah terjadi.

Dalam konteks budaya lokal, khususnya menyangkut penggunaan bahasa ibu, dampak era digital ini sering kita dapati pada kenyataan adanya sementara kalangan yang tidak peduli, bahkan mungkin apatis, terhadap kekayaan bahasa daerah masing-masing.

Mereka tampak enggan dan gengsi ketika harus berbicara dengan bahasa ibu mereka, meski itu dengan orang-orang yang berasal dari daerah yang sama.

Di daerah tempat saya tinggal, saya sering melihat ibu-ibu muda (tidak sedikit yang tua juga) lebih senang menggunakan bahasa Indonesia, baik ketika menyapa tetangga atau menyuruh anaknya makan. Padahal saya tahu betul bahwa mereka orang-orang Sunda asli.

Sebagian bahkan tampak sangat bangga mengetahui anaknya pintar berbahasa inggris daripada bahasa Sunda.

Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa bahasa Indonesia dan Inggris tidak perlu dipelajari. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional dan alat pemersatu bangsa sudah seharusnya kita jungjung tinggi. Namun bukan berarti kita melupakan bahasa ibu!

Kita bisa menggunakan bahasa Indonesia, misalnya, sebagai bahasa pengantar di ruang-ruang kelas lembaga pendidikan, di media-media cetak, atau blog-blog (seperti blog saya ini) yang memang dibuat untuk konsumsi publik. Di luar itu, kita bisa dengan nyaman menggunakan bahasa-bahasa ibu kita masing-masing.

Semboyan negara kita yang saya kutipkan di atas memungkinkan setiap warganya menggunakan bahasa daerah ini, bahkan sangat dianjurkan untuk melestarikannya.

Bagaimana mungkin kita dapat melestarikannya jika dalam setiap kesempatan kita terus-menerus menggunakan bahasa non-daerah?

Demikian halnya dengan bahasa Inggris. Kita akan mendapat manfaat yang sangat besar dengan menguasai bahasa internasional ini. Itu sebabnya, pelajaran bahasa Inggris diintegrasikan ke dalam kurikulum di tingkat-tingkat satuan pendidikan, paling tidak semenjak sekolah menengah pertama.

Diakui ataupun tidak, berbagai teknologi yang sedang kita nikmati saat ini memang umumnya berasal dari budaya penutur bahasa asing, khususnya Inggris. Tidak aneh jika istilah-istilah serta konsep-konsep, sejauh berhubungan dengan teknologi, sangatlah inggris-sentris.

Ambil contoh, misalnya, dalam bahasa pemrograman, desktop maupun web. Mereka yang akrab dengan bahasa pemrograman tersebut pasti sudah sangat mengenali konstruk-konstruk bahasa (language construct) seperti: "if", "while", "do", "repeat", atau "return" yang notabene adalah bagian dari vocabulary bahasa Inggris.

Mengganti konstruk-konstruk bahasa tersebut menjadi "jika", "sementara", "lakukan", "ulang", dan "kembali", selain akan menyebabkan error, pun tentu akan membuat program yang dibuat menjadi tidak berfungsi sama sekali!

Dari segi ini, mengetahui serba sedikit bahasa Inggris akan sangat membantu kita dalam mempelajari bahasa-bahasa pemrograman tersebut.

Bahasa sebagai bagian dari budaya, tentu tidak harus dimaknai sebatas alat komunikasi. Lebih dari itu, bahasa memuat kearifan-kearifan lokal yang denganya seseorang akan menjadi manusia seutuhnya.

Berbagai ikhtiar melestarikan dan menggalakkan bahasa ibu dan budaya daerah ini perlu kita dukung dan apresiasi.

Comments

Popular posts from this blog

Menghitung Arus, Tegangan, Daya, dan Resistansi Pada Rangkaian Seri

Kapasitor atau Condensator

Menghitung Arus, Tegangan, Daya, dan Resistansi pada Rangkaian Paralel