Langganan Banjir di Dayeuhkolot
Dulu kota kecil di Kabupaten Bandung Jawa Barat ini terkenal dengan istilah Bandung Lautan Api dengan pahlawan Mohammad Toha. Pemuda yang ikut berjuang melawan penjajah Belanda ini rela mengorbankan dirinya demi kemuliaan hidup dan kemerdekaan bangsa. Nama jalan Mohammad Toha pun diambil untuk mengenang jasa-jasanya.
Kini istilah-istilah yang mengharumkan bangsa pun lenyap tenggelam dalam luapan air sungai Citarum. Bertahun-tahun Dayeukkolot (Kota Tua dalam bahasa Sunda) berubah menjadi kolam air keruh. Warga kota Dayeuhkolot dan sekitarnya terlihat sudah bosan dan kelelahan atas musibah banjir yang selalu melanda setiap kali datang musim penghujan. Pindah tempat tinggal bukanlah solusi terbaik bagi mereka karena selain harus memiliki dana cukup, beberapa di antara warga bekerja tidak jauh dari tempat tinggal mereka.
Hujan beberapa menit saja sudah dapat dipastikan akan timbul genangan air yang dapat mengganggu lalu-lintas meskipun bukan dari luapan sungai Citarum tetapi banjir lokal akibat akumulasi di sekitar jalan raya yang melebihi kapasitas selokan kecil. Tidak jelas siapa arsitektur tata kota yang merancang tanpa adanya gorong-gorong yang benar dan sesuai spesifikasi sebagai tempat aliran air buangan.
Kini istilah-istilah yang mengharumkan bangsa pun lenyap tenggelam dalam luapan air sungai Citarum. Bertahun-tahun Dayeukkolot (Kota Tua dalam bahasa Sunda) berubah menjadi kolam air keruh. Warga kota Dayeuhkolot dan sekitarnya terlihat sudah bosan dan kelelahan atas musibah banjir yang selalu melanda setiap kali datang musim penghujan. Pindah tempat tinggal bukanlah solusi terbaik bagi mereka karena selain harus memiliki dana cukup, beberapa di antara warga bekerja tidak jauh dari tempat tinggal mereka.
Banjir di sekitar POM Bensin Dayeuhkolot |
Selain sudah menjadi lokasi langganan banjir, Dayeuhkolot juga cukup termashur dengan gelar kemacetan jalan yang sudah merupakan rahasia publik karena tatakota yang semerawut. Tempat parkir yang tidak tertata sehingga mereka "mencuri" sebagaian jalan raya sebagai lahan parkir semi permanen yang akibatnya jalan pun menjadi sempit dan berebutan dengan para pengendara. Belum lagi jumlah kendaraan yang semakin meningkat.
Sepertinya kesadaran masyarakat sudah semakin lemah untuk senantiasa menjaga lingkungan hidup dan membuang sampah pada tempatnya. Mungkin mereka sudah bosan dengan beragam etika, aturan, dan undang-undang yang harus ditaati di saat para pembuat aturan masih banyak yang melanggar aturan yang mereka buat sendiri, meskipun dalam bidang yang tidak secara langsung berkaitan, korupsi misalnya.
Bosan rasanya harus mengatakan "Ini saatnya pemerintah daerah dan pemerintah pusat melakukan perbaikan drainase, jalan raya, dan sanitasi sungai sebagai ralisasi janji mereka saat kampanye menjadi wakil rakyat". Di saat banjir seperti ini, kegiatan masyarakat pun sangat terganggu termasuk kegiatan siswa-siswi sekolah dan kegiatan jual-beli di pasar karena transportasi untuk sementara lumpuh total.
Beberapa orang yang "bergaji" tetap seperti PNS mungkin musibah banjir seperti ini bisa menyenangkan seolah mendapat cuti gratis tanpa dipotong gaji. Lain halnya dengan mereka pegawai swasta atau para pedagang yang tidak bisa beraktifitas karena terhalang banjir.
Proses pengerukan sungai Citarum cenderung tidak ada artinya seolah membuang-buang biaya karena selain dapat menjadi lahan korupsi, juga waktu pengerukan pun dirasa kurang tepat jika masayarakat sendiri belum sadar dan masih terbiasa membuang sampah ke sungai.
Perbaikan jalan memang sering dilakukan tetapi tidak bisa diandalkan karena setiap kali perbaikan jalan raya dilakukan, maka tiga bulan kemudian akan ada proyek baru untuk hal yang sama karena jalan raya kembali berlubang dan rusak parah. Lucunya, setiap kali perbaikan jalan dilakukan, gorong-gorong atau selokan di pinggir jalan tidak ikut dibangun atau setidaknya diperbaiki. Yang terlihat justru selokan di pinggir jalan semakin dangkal bahkan tertutup sama sekali oleh pelaksanaan perbaikan jalan atau karena proyek galian kabel.
Siswi Madrasah Tsanawiyyah terpaksa berjalan kaki melewati genangan air ketika berangkat ke Sekolah |
Beberapa orang yang "bergaji" tetap seperti PNS mungkin musibah banjir seperti ini bisa menyenangkan seolah mendapat cuti gratis tanpa dipotong gaji. Lain halnya dengan mereka pegawai swasta atau para pedagang yang tidak bisa beraktifitas karena terhalang banjir.
Proses pengerukan sungai Citarum cenderung tidak ada artinya seolah membuang-buang biaya karena selain dapat menjadi lahan korupsi, juga waktu pengerukan pun dirasa kurang tepat jika masayarakat sendiri belum sadar dan masih terbiasa membuang sampah ke sungai.
Perbaikan jalan memang sering dilakukan tetapi tidak bisa diandalkan karena setiap kali perbaikan jalan raya dilakukan, maka tiga bulan kemudian akan ada proyek baru untuk hal yang sama karena jalan raya kembali berlubang dan rusak parah. Lucunya, setiap kali perbaikan jalan dilakukan, gorong-gorong atau selokan di pinggir jalan tidak ikut dibangun atau setidaknya diperbaiki. Yang terlihat justru selokan di pinggir jalan semakin dangkal bahkan tertutup sama sekali oleh pelaksanaan perbaikan jalan atau karena proyek galian kabel.
Comments
Post a Comment
Mohon maaf, komentar tanpa identitas, komentar spam, komentar yang memancing perselisihan, melanggar norma, dan komentar iklan akan dihapus.